A. Diksi, Makna Idiomatik, Ungkapan, Majas, dan Peribahasa


A. Diksi, Makna Idiomatik, Ungkapan, Majas, dan
Peribahasa
Diksi ialah pilihan kata. Artinya, seseorang memilih dan menggunakan
kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan unsur
yang penting bagi pengarang dalam membuat karangan dan pernyair
dalam membuat puisi. Dengan kata yang tepat, pengarang atau penyair
dapat mengungkapkan secara tepat apa yang ingin disampaikan kepada
pembacanya.
Dalam karang-mengarang baik prosa maupun puisi, diksi berkaitan erat
dengan gaya bahasa. Pilihan atau penggunaan kata dalam mengungkapkan
sesuatu dapat menjadikan sebuah kata memiliki kemungkinan makna yang
banyak. Kata dapat diartikan secara leksikal atau sesuai konsep, tapi juga
dapat diartikan secara kontekstual, sesuai dengan situasi pemakaiannya.
Kemungkinan sebuah kata diartikan secara leksikal maupun kontekstual
dalam mengungkapkan maksud atau dengan kata lain sebuah kata dapat
bermakna denotatif maupun konotatif. Selain kedua makna tersebut, di
dalam bahasa Indonesia terdapat pula makna idiomatik, seperti ungkapan,
majas, serta peribahasa.
1. Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna sebenarnya atau makna yang memang
sesuai dengan pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kata makan
artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut , dikunyah, dan ditelan. Arti
kata makan tersebut adalah makna denotatif. Makna denotatif disebut juga
makna umum.
Makna konotatif ialah bukan makna sebenarnya. Dengan kata lain,
makna kias atau makna tambahan. Contoh kata putih bisa bermakna suci
atau tulus tapi juga dapat bermakna menyerah atau polos.
Penggunaan kata bermakna konotatif juga berkaitan dengan nilai
rasa, baik nilai rasa rendah maupun tinggi. Contoh kata gerombolan dan
kumpulan secara denotatif bermakna sama, yaitu kelompok manusia. Dua
pasang kata tersebut meskipun bermakna denotasi sama, namun secara
konotasi mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata gerombolan mempunyai
nilai rasa yang rendah, sedangkan kata kumpulan bernilai rasa tinggi.
Jadi, kata gerombolan memiliki nilai rasa yang lebih rendah bahkan
berkonotasi negatif dari kata kumpulan. Hal ini terbukti pada frasa
gerombolan pengacau bukan kumpulan pengacau.
Masih banyak kata yang secara denotatif memiliki kesamaan arti, namun
konotasinya berbeda nilai rasa. Beberapa kata bahkan dapat dikonotasikan
secara negatif, misalnya kata kebijaksanaan. Kata ini menurut arti yang
sebenarnya adalah kelakuan atau tindakan arif dalam menghadapi suatu
masalah. Tapi banyak penggunaan kata kebijaksanaan yang menyeleweng
dari arti sebenarnya. Kata kebijaksanaan dikonotasikan dengan permintaan
agar urusan dapat lancar. Hal yang sama terjadi juga pada pemakaian kata
pengertian. Dalam kalimat “Pembagian kompor gas ini memang tidak
dipungut bayaran, tapi kami mohon pengertiannya,” kata pengertian
memiliki makna lain yaitu, minta imbalan walau sedikit dan sebagainya.
Konotasi juga dapat memberikan nilai rasa halus dan kasar. Untuk
sekelompok masyarakat pemakai bahasa tertentu, sebuah atau beberapa
kata dapat bernilai rasa kasar, tapi pada kelompok masyarakat lainnya
dirasakan biasa saja atau wajar saja, misalnya kata laki- bini untuk kalangan
masyarakat Melayu dianggap biasa, namun untuk kalangan masyarakat
intelek dianggap kasar.

Contoh lain:
No Nilai Rasa                                      Halus Nilai Rasa Kasar
1 tunawisma                                                      gelandangan
2 mangkat, wafat, meninggal      mampus, mati  
3 pramuwisma                                  pelayan, pembantu, babu
4 buang air kecil                                                kencing
5 pegawai, karyawan                      buruh, kuli
6 hamil, mengandung                    bunting
7 melahirkan, bersalin                    beranak
8 menikah                                                           kawin
9 bodoh                                                               bego, goblok, tolol
10 gemuk                                                            gendut, gembrot
11 pendek                                                           kuntet, kate
Kata-kata berkonotasi halus disebut juga dengan istilah ameliorasi
dan yang berkonotasi kasar disebut peyorasi. Kata-kata bernilai rasa halus
biasa digunakan pada pemakaian bahasa dalam situasi resmi, sebaliknya
kata-kata bernilai rasa kasar biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari
atau dalam suasana nonformal.
Pada prosa fiksi khususnya cerpen atau novel populer, sering terdapat
bentuk-bentuk percakapan sehari-hari atau bahasa gaul. Dalam sastra
populer, pengarang lebih bebas menggunakan kata-kata yang dianggapnya
sesuai dengan karakter tokoh. Dalam bercerita pun, penulis populer lebih
cenderung menyajikan bahasa yang segar dan komunikatif sesuai dengan
peminat cerpen atau novel yang kebanyakan dari kalangan remaja. Hal itu
juga untuk membangun latar atau suasana yang memang sesuai dengan
tema-tema populer yang dipilihnya seperti tema tentang cinta, pergaulan
remaja, atau permasalahan di sekolah.
Pada novel atau cerpen sastra, penggunaan bahasa lebih selektif.
Dalam prosa sastra atau sastra klasik, bahasa termasuk menjadi faktor
penentu kualitas pengarang dan karyanya yang masih menekankan unsur
estetika. Bahasa yang dipergunakan akan menjadi ciri khas tersendiri dari
pengarangnya dalam mengolah cerita. Penggunaan bahasa nonformal
biasanya terdapat pada tema-tema tertentu yang memang mengusung latar
budaya yang sesuai atau untuk percakapan tokoh yang memang memiliki
karakter bicara seperti itu.
Contoh cerpen populer:
“Siang, sepulang sekolah, Olga dan Wina nongkrong di fastfood PI
Mall. Olga sibuk membaca formulir penda􀄞aran jadi penyiar di TV Swasta.
Sedang Wina menemani sambil matanya jelalatan ngeceng cowok-cowok
lewat. Suasana PI Mall siang itu cukup ramai. Ya, pusat pertokoan memang
selalu ramai. Ramai oleh remaja. Yang kerjanya cuma window shopping.
Ngelihat-lihat barang mewah tanpa punya duit buat beli. Mungkin karena
memang sudah kehabisan hiburan yang kreatif. Ya, habis mau ngapain
lagi? Ada tanah kosong sedikit, langsung dibikin plaza. Kayaknya rakyat
Indonesia itu makmur banget. Senang buang-buang duit. Buktinya pusat
belanja ada di mana-mana. Sampai ke daerah terpencil. Padahal kalo diliatliat,
yang bisa beli orangnya yang itu-itu juga. Anak remaja lainnya sih cuma
numpang ngase (ngase lho, bukan ngaso! Maksudnya numpang ngademindi-AC).”
Contoh penggalan novel sastra nonpopuler:
Kabar untuk Sofi
Betul kaubilang, Sofi. Kata orang puisi adalah nurani. Demikianlah
panyair-penyair di Negeri Bayang sepertimu akan disertai oleh para orang
bernurani setiap mereka akan mati. Katamu, akan ada penyair yang saat
kematiannya, orang tua dan anak muda yang berhati nurani pun akan
menangis dan rela menjadi pelayatnya walau sebelumnya tak pernah
mengenal biografi si penyair.
Katamu, mereka akan mengantarkan jenazah si penggubah kata hingga
ke lubang makam.
Kau bilang suara doa, untaian puisi, lagu kerakyatan, akan terdengar
saat tanah digali dan bunga-bunga akan segera menyusul. Bunga mawar
dan bunga doa untuk kaummu, Sofie terkasih.
Puisi adalah nurani, bisikmu.
Demikianlah, kau yakin kata-kata akan menyusup ke telinga para
penghuni kota yang menangis dan tersisih. Yang tertidur akan bangkit,
karena tergugah oleh kata-kata perlawanan dari beberapa untai syair.
Tapi engkau tahu. Betapa syair belum bisa menusuk kuping-kuping
para penjaga pintu peradilan dan para pengawal gedung parlemen. Betapa
pasal-pasal di kitab undang-undang negeri Bayang saja telah disulap
menjadi untaian kata-kata tak bermakna yang orang-orang akan mudah
terjebak oleh para pembuat undang-undangnya.
.........................
(Dikutip dari cerpen Sihar Ramses Simatupang, Kompas, 28 Oktober 2007)
Pada puisi, penggunaan kata bermakna denotasi dan konotasi harus
melalui penelaahan pada isi puisi keseluruhan. Diksi atau kata yang dipilih
oleh penyair tidak berdiri sendiri. Sebuah kata dapat mengandung banyak
makna karena prinsip kepadatan serta unsur ekspresi pada puisi. Penyair
dapat saja mengungkapkan wanita yang dikasihinya dengan ungkapan
bernilai rasa kasar seperti sebutan betina, tapi tidak berarti kekasihnya
wanita nakal, malahan sebaliknya karena intensitas kemesraannya. Untuk
puisi semua dapat sah-sah saja bergantung pada kemauan dan maksud
penulisnya.
Contoh penggalan puisi:
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
............................................................................
Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Puisi di atas menggunakan kata berkonotasi halus seperti, terbaring,
lubang peluru bundar di dadanya, dan senyum beku yang berarti mati,
tertembak dan penuh ikhlas. Jadi, pemakaian kata-kata berkonotasi halus
mencerminkan sikap hormat penyairnya terhadap pahlawan yang ikhlas
mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela tanah air.
Bandingkan dengan puisi berikut:
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak, dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
....................................................
................................
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
...................................
Perhatikan penggalan puisi Chairuil Anwar yang pertama
menggunakan kata-kata berkonotasi kasar seperti: kawin dan beranak. Dan
pada puisi kedua terdapat pemakaian kata bini. Penggunaan bahasa seharihari
banyak terdapat pada puisi Mbeling (sebuah aliran puisi modern yang
dimotori oleh Remy Silado).
2. Ungkapan dan Peribahasa
Ungkapan adalah satuan bahasa (kata, frasa, atau kalimat) yang
tidak dapat diramalkan berdasarkan unsur-unsur pembentuknya. Contoh
ungkapan, yaitu perang dingin, kabar angin, kambing hitam, naik daun.
Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang mengisahkan maksud
tertentu berupa perbandingan, pertentangan, sindiran, dan penegasan.
Contoh peribahasa, yaitu habis manis sepah dibuang, bergantung pada akar
lapuk, seperti anak ayam kehilangan induk, bagai telur di ujung tanduk.
Ungkapan dan peribahasa juga banyak digunakan dalam cerpen, novel,
ataupun puisi. Penggunaan ungkapan dan peribahasa termasuk salah satu
unsur gaya bahasa dalam kesusasteraan. Berikut adalah contoh penggunaan
ungkapan dan peribahasa pada prosa fiksi, nonfiksi, dan puisi.
a. Ungkapan dan Peribahasa dalam Prosa Fiksi dan Nonfiksi
.....................
Nyonya Hidayat menggigit bibirnya. Oh, jadi itu kiranya yang
membawa mereka kemari! Selanjutnya ia harus lebih berhati-hati
dalam bicaranya. Apa yang dikatakannya pada suatu saat secara santai
bisa saja menjadi senjata makan tuan di kemudian hari! Kalau begitu
orang betul-betul harus menjaga mulutnya, pikir Nyonya Hidayat
dalam hati.
...................
(Dari: Misteri Gugurnya Sekuntum
Dahlia, oleh S. Mara. GD)
........................
Awal segalanya, yakni pada suatu hari datanglah seorang lakilaki
bersama Sutan Caniago kepadanya. Ia seorang ayah dari empat
orang anak. Katanya ia tak sanggup di kampung lagi. Maksudnya ia
hendak merantau, mengadu untung di kota. Tapi ia memerlukan modal.
Untuk mendapat modal itulah, ia menemukan Sutan Duano. Ia hendak
mengijon padinya yang telah selesai disianginya.
.....................
Aku juga petani, “ kata Sutan Duano cepat.
Bapak petani sebatang kara. Aku punya istri. Punya empat orang
anak. Bebanku enam kali lebih berat dari Bapak.”
.....................
Fakta yang dikatakan Sutan Caniago itu benar. Tapi fakta-fakta
lain menunjukkan akibatnya yang tidak selamanya cemerlang. Bahkan
lebih banyak yang ambruk jadinya daripada berhasil. Sutan Duano
tahu, bahwa orang-orang yang merantau itu pada masa permulaannya
yang kadang-kadang panjang itu tenggelam seperti batu jatuh lubuk di
rantau orang. Jarang sekali mereka mengirimkan na􀄤ah buat anak
istrinya yang berkuras mencarikan isi perut mereka di kampung. Dan
pada suatu masa, kalau suaminya pulang, ia membawakan kain baju
yang indah-indah buat anak istrinya. Dan si istri memakainya ke setiap
pasar seolah memperagakan pemberian suaminya yang beruntung di
rantau.
........................
Baru saja Sutan Duano selesai berkata, tiba-tiba laki-laki itu
mengangkat kepalanya. Lantunan cahaya lampu di wajahnya bertambah
marak, tapi air mukanya gelap. ........................
(Dari roman: Kemarau, karya; A.A. Navis)
............
Adapun para calon lurah beserta tim sukses dan komunitas
pendukungnya tidak perlu ikut melakukan pekerjaan kecil dan lokal
menyelamatkan Sobirin. Sebab mereka bertugas di wilayah yang lebih
tinggi, lebih luas, dan lebih jauh ke depan. Mereka agent of the change.
Mereka pemegang tongkat zaman. Mereka penentu masa depan
seluruh kampung.....
(Sumber: Seputar Indonesia, 14 Desember 2007)
b. Ungkapan dan Peribahasa dalam Puisi:
....................
Hatiku terang menerima kasihmu, bagai bintang
Memasang lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
Malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu
Penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar
Mataku sendu biar berbinar gelakku rayu!
....................
Kemerdekaan itu
Adalah kambing hitam gembala
Yang diberi racun
Akhirnya mati sia-sia
Kemerdekaan itu
Adalah adu jangkrik yang dikitik-kitik
Dalam lingkaran arena sepatu serdadu
Di bawah acungan ujung peluru
........................
(Karya: Tarmizi Basri)
........................
Walaupun kau telah tiada
Namamu tetap harum dan
Membekas di hati masyarakat
Seperti kata pepatah
Harimau mati meninggalkan belang
Gajah mati meninggalkan gading.
...........................
(Karya: Edim Hartati
Suara Karya, 6 Juni 1981)
...........................
Saat esa terhilang di pertempuran
Ribuan terbilang menggantikannya
Semangat membara menyatu keberagaman bangsa
Mengantar Soekarno-Ha􀄴a ke corong proklamasi
Kumandangkan Jaya Indonesia Merdeka.
..........................
(Karya: Jozef B. Kalengkongan)

Komentar

Postingan Populer