A. Menyimak Puisi
Dalam Kamus
Istilah Sastra, Abdul Razak Zaidan (1991) membatasi
pengertian apresiasi
puisi sebagai penghargaan atas puisi sebagai hasil
pengenalan,
pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan atas
karya tersebut yang
didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai
yang terkandung dalam
puisi itu. Dalam batasan ini, syarat untuk dapat
mengapresiasi karya
sastra adalah kepekaan batin terhadap nilai-nilai karya
sastra sehingga
seseorang
1. mengenal,
2. memahami,
3. menafsirkan,
4. menghayati, dan
5. menikmati karya
sastra tersebut.
Untuk mengapresiasi
puisi, kita harus mengenal hakikat puisi,
yaitu tema, nada dan
suasana, perasaan, serta amanat dari puisi tersebut.
1. Tema Puisi
Tema adalah gagasan
pokok yang dikemukakan oleh penyair
melalui puisinya.
Tema mengacu kepada penyair. Pembaca
harus mengetahui
latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan
tema sebuah puisi.
Oleh karena itu, tema bersifat khusus
(diacu dari penyair),
objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama),
dan lugas (bukan
makna kias yang diambil dari konotasinya).
Tema yang banyak
terdapat dalam puisi adalah tema ketuhanan
(religius),
kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan
hidup, alam,
keadilan, kritik sosial, demokrasi, dan kesetiakawanan.
Perhatikan puisi
"Gadis Peminta-minta" karya Toto Sudarto
Bachtiar berikut ini.
Gadis
Peminta-minta
Setiap kita bertemu, gadis
kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal
untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan
merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang,
tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil
berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan
yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan
angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Penyair menyadarkan
kita bahwa gadis kecil berkaleng kecil itu
harus dihargai,
diperhatikan, dan ditolong. Ia juga manusia yang mempunyai
martabat yang sama
seperti kita. Martabat gadis itu lebih tinggi
daripada menara
katedral, artinya martabat gadis itu dapat juga menjadi
lebih tinggi daripada
orang-orang kaya atau orang beriman sekalipun.
2. Nada dan Suasana Puisi
Di samping tema,
puisi juga mengungkapkan nada dan suasana
kejiwaan. Nada
mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari
sikap itu terciptalah
suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes,
menggurui,
memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh),
patriotik, belas
kasih (memelas), takut, mencekam, santai, masa bodoh,
pesimis, humor
(bergurau), mencemooh, karismatik, filosofis, khusyuk,
dan sebagainya.
Duniamu yang lebih tinggi
dari menata katedral
Melintas-lintas di atas air
kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu
murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil
berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada
yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya
tanda
(Suara, 1956)
Sumber: www.mualaf.com
Nada kagum, misalnya,
terdapat dalam puisi "Perempuan-
Perempuan
Perkasa" (Hartoyo Andangjaya) dan "Diponegoro" (Chairil
Anwar). Nada
main-main, misalnya, terdapat dalam puisi "Biarin"
(Yudhistira ANM
Massardi) dan "Shang Hai" (Sutardji Calzoum
Bachri). Nada
Patriotik, misalnya, terdapat dalam puisi "Karawang Bekasi"
(Chairil Anwar) dan
"Pahlawan Tak Dikenal" (Toto Sudarto Bactiar).
Nada pasrah,
misalnya, dapat kita jumpai dalam puisi "Derai-Derai
Cemara" (Chairil
Anwar) berikut.
Derai-Derai
Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Hari terasa akan jadi malam
Ada beberapa dahan di
tingkap merapuh
Dipukul angin yang
terpendam.
Aku sekarang orangnya bisa
tahan
Sudah lama bukan kanak lagi
Tapi ada suatu bahan
Yang bukan dasar
perhitungan kini.
Hidup hanya menunda
kekalahan
Tambah terasing dari cinta
sekolah rendah dan tahu,
Ada yang tetap tidak
diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita
menyerah.
(KerikilTajam, 1946)
Penyakit telah
menggerogoti tubuh Chairil Anwar sehingga
ia menyadari bahwa
kematian akan datang kepadanya. Gambaran
hidupnya yang
dihantam penyakit tersembunyi digambarkan dalam lirik
di
tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam. Ia pasrah meskipun
di saat menjelang
kematiannya, ada yang belum diucapkan. Kematian
disebutnya sebagai kekalahan
yang selalu ditunda.
3. Perasaan
Puisi mengungkapkan
perasaan penyair. Nada dan perasaan
penyair akan dapat
kita tangkap jika puisi itu dibaca keras dalam pembacaan
puisi atau deklamasi.
Membaca puisi atau mendengarkan pembacaan
puisi dengan suara
keras akan lebih membantu kita mengetahui
perasaan penyair yang
melatarbelakangi terciptanya puisi tersebut.
Perasaan yang
menjiwai puisi dapat merupakan perasaan gembira,
sedih, terharu,
terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam,
cemburu, kesepian,
takut, dan menyesal.
Perasaan sedih yang
mendalam diungkapkan oleh Chairil Anwar
dalam "Senja di
Pelabuhan Kecil", J.E. Tatengkeng dalam "Anakku",
Agnes Sri Hartini
dalam "Selamat Jalan Anakku", dan Rendra dalam
"Orang-Orang
Rangkas Bitung".
4. Amanat Puisi
Amanat, pesan, atau
nasihat merupakan kesan yang ditangkap
pembaca atau
pendengar setelah membaca atau mendengar pembacaan
puisi. Amanat
dirumuskan sendiri oleh pembaca atau pendengar. Sikap
dan pengalaman
pembaca sangat berpengaruh terhadap amanat puisi.
Cara menyimpulkan
amanat puisi sangat berkaitan dengan cara pandang
pembaca atau
pendengar terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan
berdasarkan cara
pandang pembaca atau pendengar, amanat tidak dapat
dilepaskan dari tema
dan isi puisi yang dikemukakan penyair.
Perhatikan puisi
"Doa" (Chairil Anwar) berikut.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di
kelam sunyi
Tuhanku
aku mengembara di negeri
asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur Debu,
1959)
Komentar
Posting Komentar